Nama : Satria Susanto
Npm : 36112873
Kelas : 1DB01
Tanggung jawab sosial perusahaan
atau corporate social responsibility (untuk selanjutnya disebut
CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun,
tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Berbeda dengan kondisi Indonesia,
di sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun belakangan. Tuntutan
masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar
bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR
Hasil Program Penilaian Peringkat
Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan
bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150
merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu
banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa
mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan.
Kondisi tersebut makin populer
tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa
setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sebelum membahas lebih jauh
mengenai hubungan antara CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal
perlu kiranya mengetahui apa yang dimaksud dengan CSR. Sampai saat ini
belum ada kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR, meskipun kalangan
dunia usaha menyadari bahwa CSR ini amat penting bagi keberlanjutan usaha
suatu perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa praktek CSR dipercaya menjadi
landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability
development), bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders
dalam arti keseluruhan. Hal tersebut terlihat dari berbagai rumusan CSR
yaitu sebagai berikut :
- The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menyebutkan CSR sebagai “continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as wol as of the local community and society at large”.
- John Elkingston’s menegaskan “Corporate Social Responsibility is a concept that organisation especially (but not only) corporations, have an obligation to consider the interestts of costomers, employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspectr of theiroperations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply with legislation”
- Penjelasan pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “.
- Pasal 1 angka 3 UUPT , tangung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Dari pengertian-pengertian CSR tampak belum
adanya keseragaman ataupun persamaan persepsi dan pandangan mengenai CSR.
Terlihat dari ketentuan dalam UUPM dan UUPT, melihat tanggung jawab sosial pada
titik pandang yang berbeda. UUPM lebih menekankan CSR sebagai upaya perusahaan
untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia beroperasi.
Sedangkan UUPT justru mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan
tanggung jawab lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung jawab perusahaan
pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Namun
demikian keduanya mempunyai tujuan yang sama mengarah pada CSR sebagai sebuah
komitmen perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan.
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah kewajiban
dapat merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak
lagi dimaknai sekedar tuntutan moral an-sich, tetapi diyakinkan sebagai
kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan.
Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan
lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau
eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang
wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak
berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility
karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna
liability karena disertai dengan sanksi.
Dengan demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat
untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering).
Sehingga hokum bukan saja berdasarkan pada akal, tetapi juga pengalaman. Akal
diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang dikembangkan oleh
akal.
Konteks tanggung jawab social (CSR) dalam hal ini ada
kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau
sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah
ditimbulkan. Tanggung jawab social berada pada ranah moral, sehingga
posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam tanggung ajwab social lebih
mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniha,
sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik
yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hokum lebih menekankan
pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara
obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hokum,
dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat
dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau
maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial
dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial
lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders
dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan
belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada
tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak
pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan-
perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak
berdampak negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara
positif hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya
sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan
sejahtera.
Kondisi Indonesia masih menghendaki
adanya CSR sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadarna akan adanya CSR masih
rendah, kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang cukup
dan bahkan seringkali terjadi suatu yang diatur saja masih ditabrak,
apalagi kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat
rendah. CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang
mengabaikan tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi
sumber daya alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan
perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Jika situasi dan kondisi yang
terjadi masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung
jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility)
akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis
perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi.
2. CSR dan Implikasinya pada Iklim Penanaman Modal di
Indonesia
Selanjutnya akan dibahas mengenai
bagaimana CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal di Indonesia.
Penanaman modal dalam UUPM No. 25 Tahun 2007, Pasal 1 angka 1
dinyatakan bahwa ”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal,
baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.
Kehadiran UUPM NO. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal diharapkan, mampu memberikan angin segar kepada
investor dan memberikan iklim investasi yang menggairahkan. Kenyamanan dan
ketertarikan investor asing terutama apabila terciptanya sebuah kepastian hukum
dan jaminan adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap modal yang
ditanamkan. Secara garis besar tujuan dari
dikeluarkannya UU PM tentunya disamping memberikan kepastian hukum juga
adanya transparansi dan tidak membeda-bedakan serta memberikan perlakuan yang
sama kepada investor dalam dan luar negeri.
Dengan adanya kepastian hukum dan jaminan kenyamanan serta keamanan
terhadap investor, tentunya akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar
global yang merosot sejak terjadinya krisis moneter. Berkaitan dengan hal
tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan
perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk menigkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan
teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman
modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim
investasi dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi
Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum
di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim
usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan
perbaikan faktor tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik
secara signifikan.
Suasana kebatinan yang diharapkan
oleh pembentuk UU PM, didasarkan pada semangat ingin menciptakan iklim
penanaman modal yang kondusif yang salah satu aturannya mengatur tentang
kewajiban untuk menjalankan CSR. Bagi pelaku usaha (pemodal baik dalam maupun
asing) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan CSR baik
dalam aspek lingkungan, sosial maupun budaya.
Penerapan kewajiban CSR
sebabagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , Pasal
15 huruf b menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi
administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan,
hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat
(1) UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung jawab sosial
perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman
modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Ilustrasi yang menggambarkan
keinginan dari berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah kewajiban CSR
terpaksa dilakukan lantaran banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di
Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan. ”Pengalaman
menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan
operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian terhadap kepentingan
sosial”. Beberapa contoh kasus , seperti : lumpur Lapindo di Porong, lalu
konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh
dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran oleh Newmont di
Teluk Buyat dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah kewajiban CSR
juga sudah diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan pelat merah
telah lama menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada pihak ketiga
dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri
BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh karena itu, perusahaan
yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang
berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada”.
Tren globalisasi menunjukkan hal-hal
yang berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi
kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup yang sehat
merupakan bagian dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR
menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian
dari publik sendiri. ”Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru
kinerja saham di bursa saham kurang bagus”.
CSR dalam konteks penanaman modal
harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak
etis. Oleh karena itu harus dibantah pendapat yang menyatakan CSR identik
dengan kegiatan sukarela, dan menghambat iklim investasi. CSR merupakan sarana
untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis terhadap publik,
khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari itu, sangat tepat apabila CSR
diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan harus dijalankan
oleh pihak perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula pemerintah sebagai
agen yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutnya mereka (pemerintah)
memiliki otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi CSR.
Dengan demikian, keberadaan
perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat menjalankan misinya
untuk meraih optimalisasi profit, sekaligus dapat menjalankan misi sosialnya
untuk kepentingan masyarakat. Pengaturan mengenai tanggung jawab penanam modal
diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar
tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban serta upaya
mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan CSR secara konsisten
oleh perusahaan akan mampu menciptakan iklim investasi (penanaman modal).
Anggapan yang mengatakan bahwa CSR akan menghambat iklim investasi patut
ditolak. Ada kewajiban bagi setiap penanam modal yang datang ke Indonesia wajib
mentaati aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia, apapun bentuknya.
Indonesia masih menjanjikan bagi investor dalam maupun asing. Sumber daya alam
masih merupakan daya tarik tersendiri dibandingkan negara-negara sesama ASEAN
dalam posisi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Kondisi tersebut dapat terwujud apabila diimbangi dengan manfaat dari
kesiapan peningkatan mutu infrastrukturt, manusia, pengetahuan dan fisik.
UU PM memberikan jaminan kepada
seluruh investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal
negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
CSR dalam UUPM dapat terlaksana jika dibarengi dengan lembaga yang kuat dalam
menegakkan aturan dan proses yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum
itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan
manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions)
dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataa
Kesimpulan
Berdasarkan
hal tersebut di atas maka kesimpulan yang dapat diambil dalam tulisan ini
adalah sebagai berikut : pelaksanaan CSR yang baik dan benar sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku akan berimplikasi pada iklim penanaman modal yang
kondusif. Untuk bisa mewujudkan CSR setiap pelaku usaha (investor) baik dalam
maupun asing yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib melaksanakan
aturan dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya pemerintah
sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan aturan dan sanksi
apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak melaksanakan
CSR sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Saran-saran
a. Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi kepada
para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai pentingnya CSR dalam
mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia.
b. Dibutuhkan konsistensi dan komitmen baik dari
pemerintah maupun pelaku usaha (investor) dalam melakssanakan CSR sebagai suatu
kewajiban hukum.
Daftar Pustaka :
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-bisnis/84-tanggung-jawab-sosial-perusahaan-corporate-social-responsibility-dan-iklim-penanaman-modal.html